Senin, 03 Februari 2014

Prabu Destarata

Ia dilahirkan dalam kekurangsempurnaan. Dari rahim seorang istri Wicitrawirya, Dewi Ambika, Destarata dilahirkan. Namun sejatinya ia bukan anak biologis Wicitrawirya yang wafat karena sakit paru dan tanpa berketurunan, ia adalah anak pujan dari Begawan Abiyasa.

Setelah Wicitrawirya mangkat, Setyawati, ibunda Wicitrawirya, mengutus Dewi Ambika dan Ambalika - yang kedua-duanya adalah istri Wicitrawirya - untuk menemui Begawan Abiyasa di Gunung Sapta Arga dengan maksud memohon keberkahan akan keturunan.
Di dalam kamar semedi Begawan Abiyasa, dengan wajah yang teramat dahsyat dengan mata yang menyala-nyala, Begawan Abiyasa menyelenggarakan upacara pujan untuk memohon keturunan bagi Ambika dan Ambalika. Ambika menutup matanya atas hal tersebut, sehingga lahirlah dari rahim dirinya seorang anak yang buta yang kelak dinamakan Destarata. Sementara Ambalika berupaya untuk tidak menutup matanya atas apa yang ada dihadapannya. Dengan segala dayanya yang walaupun harus dilaluinya dengan kepucatan, Ambalika akhirnya memperoleh keturunan yang di kemudian hari anaknya tersebut dinamakan Pandu, yang berarti kulit yang pucat.


Destarata dan Pandu tumbuh dan besar di istana Hastinapura. Sampai ketika mereka telah dewasa, saatnyalah bagi mereka untuk naik ke tampuk singgasana kerajaan yang telah lama vakum. Semestinyalah Destarata yang menggantikan ayahnya untuk memerintah Hastinapura. Namun karena keterbatasan yang ia miliki maka Pandu, adiknya, yang dikukuhkan sebagai raja Hastinapura selanjutnya.


Pandu tidak memerintah terlalu lama atas Hastinapura. Pandu gugur dalam perang tanding antara dirinya dengan muridnya sendiri, Tremboko, raja raksasa dari Pringgondani. Keris Kalanadah telah merobek paha Pandu yang berujung pada ajalnya, sementara anak panah yang dilesatkan Pandu memenggal leher Tremboko. Perang tanding yang semestinya tidak terjadi andai saja Tremboko tidak termakan hasutan Sengkuni.


Sebelum ajal menjemputnya, pesan terakhir yang sempat disampaikan Pandu  bahwa singgasana Hastinapura yang ia tinggalkan untuk dititipkan kepada Destarata sampai anak-anak Pandu tumbuh dewasa dan dapat melanjutkan dinastinya.


Suatu pesan terakhir, wasiat adalah suatu pendulum yang tidak dapat ditarik kembali ujungnya. Disampaikan dengan keikhlasan dan penuh harap akan apa-apa yang dikehendakinya. Pesan terakhir, wasiat merupakan suatu kepercayaan bahwa bagi pemangkunya hal tersebut adalah suatu keniscayaan. Keniscayaan untuk dan atas nama seorang patron dan keniscayaan akan keberlangsungan harapannya. Harapan sebagai mana anak panah yang melesat secara pasti pada titik ujungnya sekaligus yang tak mungkin untuk kembali lagi ke gendewanya.


Destarata, sang pemangku wasiat tersebut mengemban tidak sepenuh hati apa yang telah dipesankan adiknya. Dalam keterbatasan, Destarata menyadari sepenuhnya bahwa Hastinapura sebagai suatu kerajaan yang telah diperjuangkan oleh para pendiri wangsa Kuru harus tetap dijaga keberlangsungannya. Ia bersinggsana di Hastinapura dengan didampingi para pinesepuh wangsa Kuru, yakni Bisma, Widura, Durna dan Krepa. Namun di sisi lain, bukan demikian halnya akan keberlanjutan singgasana yang telah ia duduki tersebut.


Para Pandawa, kelima anak Pandu, telah beranjak dewasa dalam bimbingan Kunti, ibundanya dan para eyangnya. Di istana Hastinapura mereka dibesarkan. Begitupun dengan Kurawa, seratus anak Destarata dari istrinya, Gendari, telah berangkat dewasa dalam pengasuhan yang sama di istana megah pinggir telaga tersebut. Kurawa dan Pandawa, bukan sebagai saudara - walaupun hanya sepupu - mereka tumbuh remaja dan dewasa secara bersama-sama dan dalam pengasuhan yang sama di tempat yang sama pula. Kurawa secara laten menanamkan semangat kebencian dan iri dengki mereka atas Pandawa dalam diri mereka. Singgasana Hastinapura yang sekarang diduduki ayah mereka sebagai pemantiknya.


Tampaknya Destarata mulai lupa akan pesan terakhir Pandu kepadanya sebelum Pandu menghembuskan nafas. Destarata yang telah uzur, Gendari dengan sinar matanya yang silau, menjadikan para Kurawa leluasa berdiri tegak dengan kepongahannya atas Pandawa. Destarata semakin tak berdaya ketika Kurawa mengadakan permainan dadu dengan mengundang Pandawa di Bale Sigala-gala. Permainan dadu yang telah menihilkan hak-hak Pandawa sekaligus yang telah meruntuhkan kehormatan Pandawa. Tidak terkecuali Drupadi. Permainan dadu pula yang menjadikan Pandawa harus mengasingkan diri selama tiga belas tahun di hutan Kamiaka.


Di taman istana Hastinapura, di tepian kolam dengan air keperakan tersapu cahaya bulan, sebatang ranting cemara jatuh, terapung, beriak air berjalan lambat ke tepi. Destarata duduk terpaku ditemani Gendari yang telah menutup kedua matanya dengan kain hitam. Destarata membayangkan perang yang akan terjadi antara anak-anaknya dengan para Pandawa di Kurusetra esok hari. Perang yang akan menghapus satu garis keturunan dari wangsa Kuru. Perang yang seharusnya tidak terjadi jika saja ia dapat membesarkan anak-anaknya secara baik. Perang yang juga seharusnya tidak terjadi jika saja sinar mata yang silau dari Gendari tidak menggodanya. Kalaupun sekarang Gendari telah menutup kedua matanya, semuanya telah terlambat.


Orang tua yang akan memberikan segala warna bagi anak-anaknya. Anak adalah cerminan dari kedua orang tuanya. Ketika anak telah berjalan di luar dari hak-hak yang ia punya dan seorang istri yang telah bertindak melebihi batas-batasnya, Destarata tidak berdaya atas semuanya. Destarata, ternyata tidak hanya buta matanya, namun juga buta hatinya. Hingga akhirnya wasiat itu ia langgarnya dengan segala akibat yang harus ia tanggung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar